Thursday, April 19, 2007

Sebuah Refleksi di Hari Jadi PSSI

HARI ini (19 April), PSSI merayakan ulang tahun ke-77. Jika di ukur dari manusia, maka usia tersebut tidak bisa dibilang muda lagi. Dalam usia tersebut sudah seharusnya, seseorang mencapai tingkatan tertinggi, dalam artian dia tinggal menikmati kerja keras yang dibangunnya selama muda.
Tapi, tidak dengan PSSI kita. Otoritas sepak bola tertinggi Indonesia yang berdiri pada 19 April 1930 ini ternyata belum bisa memberikan rasa nyaman dan bangga buat bangsa yang rakyatnya menggilai sepak bola. Yang ada, hanya malu, kecewa dan sedih.
Bandingkan dengan Jepang dengan J-League-nya. Berdiri pada 1993, Jepang kini menjadi salah satu raksasa Asia, dan menembus dunia. Kompetisinya kini juga mulai mendapatkan perhatian dunia.
Atau juga Korea Selatan yang baru memulai liga profesionalnya pada 1983 dengan dimulai dua tim, sebelum akhirnya bergerak ke K-League pada era 90-an. Dalam waktu relatif singkat, mereka juga berhasil menjadi kiblat sepak bola Asia. Tak hanya timnas mereka yang berjaya, tapi juga pemain Korsel mulai menjejalah ke Eropa seperti halnya Jepang.
Indonesia? Dalam kurun waktu 77 tahun, hanya ada dua “prestasi” emas Indonesia yang patut dibanggakan. Pertama, pada 1938. Pada saat itu, dengan masih menggunakan nama Hindia Belanda, bangsa ini menjadi negara Asia yang tampil di Piala Dunia. Pada tahun tersebut terjadi pertandingan antara Hungaria dengan Dutch East Indies atau Hindia Belanda dengan hasil sebagai berikut 6-0 (4-0).
Momen emas kedua terjadi pada 1956, saat Indonesia menuju babak final Olimpiade di Melbourne, dengan membuat kejutan menahan kehebatan Rusia 0-0. Meski setelah itu, tim polesan Tony Poganik menyerah 0-4 dari Lev Yashin dkk di partai ulangan.
Namun, cerita emas itu sudah berakhir. Kini, dalam usia yang makin menua, prestasi sepak bola Indonesia bukannya makin berkembang menebarkan aroma harum, tapi justru ke arah “kematian”. Jika, dulu sepak bola Indonesia pernah menjadi raksasa Asia Tenggara, kini nyaris tak berdaya.
Semuanya boleh jadi karena disebabkan sepak bola Indonesia lebih banyak dijadikan alat birokrasi, politisasi untuk mengangkat popularitas semata. Akibatnya, semua regulasi dan keputusan yang diambil PSSI lebih bersifat politis.
Peraturan bisa ditekuk seperti lidah. Pengurus lebih banyak tebar wacana, dan menebar pesona dengan obral pengampunan agar bisa mendapat simpati. Lebih mengerikan, di PSSI tersinyalir ada perputaran “uang panas” yang hampir tak tersentuh.
“Uang panas” ini bisa berasal dari banyak sumber. Mulai dari promosi degradasi, fee pemain, bonus agen, perpanjangan izin tinggal, kerja, dan semua yang bisa menghasilkan uang. Dan, seperti kebanyakan kasus “uang panas”, sangat susah untuk dibuktikan.
Indonesia pun menjadi kesulitan mengalahkan Singapura, Vietnam, bahkan Myanmar yang sebenarnya jauh berada di bawah Indonesia. Karena itu, sangat aneh dalam prestasi terpuruk seperti ini, ketua umum PSSI sesumbar Indonesia akan ke pentas Piala Dunia 2019. Pertanyaannya, dari mana logika ini di bangun?
Harusnya, PSSI bicara dulu tentang target Asia Tenggara, setelah bisa jadi juara baru ngomong tentang Piala Asia, kalau di pentas akbar sepak bola benua kuning sudah sukses, targetlah Olimpiade, dan setelah baru berkoar tentang Piala Dunia.
Lebih bijak, PSSI membenahi kompetisi domestik. Bikinlah jadwal yang rasional, pas, dan tidak berubah-ubah. Buatlah regulasi agar pemain lokal bisa berkembang dengan cara membatasi jumlah pemain asing. PSSI juga harus membikin instrumen yang membuat pemain muda bisa berkembang, dan kemudian siap tampil di ajang professional.
Kalau persoalan elementer seperti ini tak bisa diselesaikan, tolong jangan bicara Piala Dunia, karena semua orang akan bilang, Apa Kata Dunia? (*)

No comments: