Sunday, April 15, 2007

Nagabonar dan Kritik Sepak Bola Kita

SAYA sedang tidak bermaksud melakukan resensi film. Hanya saja, kebetulan saja ketika menyaksikan film Nagabonar Jadi 2, ada adegan yang membuat pikiran saya langsung mengingat sepak bola kita. Bukan dialog yang menggurui, bukan juga ceramah berapi-api dengan seribu janji.
Dialog itu dibangun, ketika anak Nagabonar, Bonaga berkongsi dengan rekan-rekannya bermaksud mendirikan perusahaan di kebun sawit milik Nagabonar di Medan. Rekan Bonaga memaparkan detail perusahaan, termasuk mess yang buat karyawan. Tanpa diduga, Nagabonar menayakan “di mana lapangan bolanya?”. Tentu saja, pengusaha yang dibesarkan di Amerika Serikat sana kaget. Lapangan bola? Tanya mereka.
Mendengar pertanyaan tersebut, Nagabonar yang mengaku dari Lubuk Pakam (kandang PSDS Deli Serdang), langsung meradang. “Kau tidak ingin bangsa kita menang main sepak bola, udah rubuhkan saja salah satu gedung, untuk bikin lapangan bola,” tukas Nagabonar.
Karena film ini memang tak berbicara sepak bola, maka dialog soal dunia rumput hijau terhenti. Tapi, tetap saja dialog tersebut saya ingat. Sebagai wartawan saya tergelitik untuk menerjemahkan pernyataan Nagabonar dengan realitas di lapangan.
Hasilnya? Bisa jadi ya. Tapi saya menerjemahkannya dalam konteks lebih luas. Artinya, saya ingin mengatakan bahwa jika ingin meraih hal-hal besar, jangan pernah melupakan persoalan kecil. Karena sekecil apapun masalah akan menjadi batu sandungan buat meraih hal besar.
Contohnya lapangan. Boleh jadi kita tak memiliki kendala soal lapangan, tapi persoalannya seberapa layak lapangan tersebut memenuhi standar internasional. Hampir 90% lapangan sepak bola di negeri ini tak memenuhi syarat. Mulai dari lapangan yang tidak rata, rumput mulai menguning, sehingga membuat pemain Indonesia kerepotan saat tampil di lapangan mulus.
Itu persoalaan lapangan. Belum persoalan kepemimpinan atau leadership di tingkat federasi. PSSI, Pengda, Pengcab dan klub seperti melupakan pentingnya pembinaan pemain muda. Ketua umum PSSI lebih suka menebar pesona dengan banyak mengeluarkan pengampunan.
Termasuk, pengampunan pada hal-hal sepele. Contoh nyata adalah kasus Persib Bandung yang mendapat sanksi laga tanpa penonton saat melawan PSMS beberapa waktu lalu. Dalam persoalan yang begitu sepele, ketua umum sampai perlu menggunakan hak prerogatifnya dengan mengundur sanksi tersebut.
Sekarang, pada saat semua negara di Asia bersiap di pentas Asia, PSSI dan ketua umum justru asik mengatur strategi untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan berbagai cara yang dianggap mendapat legitimasi. Padahal, selama kepemimpinan sekarang tak ada satu pun prestasi yang dipersembahkan. Yang ada justru blunder keputusan, dan kontroversinya. Pertanyaannya, apakah kita akan tetap memilih pengurus yang telah gagal?
Kalau saya, akan lebih suka memilih Nagabonar sebagai ketua umum PSSI. Tanpa banyak retrorika, tapi begitu peduli pada prestasi sepak bola kita. Hidup Nagabonar! (*)

No comments: