Saturday, April 21, 2007

Menghargai Kejujuran

SEBERAPA besar anda menilai sebuah kejujuran? Pertanyaan ini saya ajukan bukan tanpa landasan. Bagi saya, nilai kejujuran berarti uang Rp10 ribu. Karena nilai itu pula yang saya berikan kepada orang yang telah menemukan dompet saya, berisi semua surat penting, dan uang Rp40 ribu.
Anda boleh saja memprotes saya dan mengatakan apa yang saya lakukan sangat tidak berdasar. Buat mayoritas orang, kejujuran itu tak bernilai. Alias tak berbatas. Sehingga, sangat tidak bisa jika kejujuran itu dirumuskan dalam angka, apalagi rupiah. Namun, di sinilah persoalan mengapa beberapa orang kemudian menjadi tidak jujur.
Tidak percaya? Saya gambarkan sedikit ilustrasi. Ketika ada seseorang menemukan dompet di pinggir jalan, dengan di dalamnya berisi surat penting (stnk, kartu kredit, sim, asuransi) plus uang Rp50 ribu. Apa yang akan dilakukannya?
Dengan kerasnya kehidupan di Jakarta, jangan heran bila kemudian orang itu mengambil uangnya dan membuang dompet itu di pinggir jalan lagi. Penyebabnya, dia sedang membutuhkan uang, dan tidak yakin jika dompet itu dikembalikan nominal Rp50 ribu yang berada di dalamnya akan diberikan kepada dirinya.
Penyebabnya, ya itu tadi tak ada nilai pasti tentang sebuah kejujuran. Bayangkan, dia sudah capek harus mengeluarkan rupiah untuk mencari atau menghubungi alamat orang yang kehilangan dompet. Setelah itu, dia belum tentu mendapat imbalan yang sepadan.
Kalau sudah begitu, lebih baik simpan baik-baik uang tersebut, dan melemparkan kembali dompet tersebut ke tempat sampah.
Karena itu, saya berpikir ada baiknya sebuah kejujuran itu diberi nilai. Misalnya ada sebuah ketentuan tidak langsung yang menyebutkan, jika ada dompet hilang dengan surat penting dan lembaran uang di dalamnya, maka jika ada yang menemukan si pemilik dompet harus memberikan semua uang di dalam dompet, plus uang ganti transport.
Dengan memberi nilai yang sepadan bisa jadi orang akan bersemangat untuk mengembalikan dompet tersebut.
Naïf? Terserah saja. Tapi, kadang kita memang merasa malu untuk mengakui bahwa kehidupan ini harus dihargai secara jelas. (*)

Thursday, April 19, 2007

Sebuah Refleksi di Hari Jadi PSSI

HARI ini (19 April), PSSI merayakan ulang tahun ke-77. Jika di ukur dari manusia, maka usia tersebut tidak bisa dibilang muda lagi. Dalam usia tersebut sudah seharusnya, seseorang mencapai tingkatan tertinggi, dalam artian dia tinggal menikmati kerja keras yang dibangunnya selama muda.
Tapi, tidak dengan PSSI kita. Otoritas sepak bola tertinggi Indonesia yang berdiri pada 19 April 1930 ini ternyata belum bisa memberikan rasa nyaman dan bangga buat bangsa yang rakyatnya menggilai sepak bola. Yang ada, hanya malu, kecewa dan sedih.
Bandingkan dengan Jepang dengan J-League-nya. Berdiri pada 1993, Jepang kini menjadi salah satu raksasa Asia, dan menembus dunia. Kompetisinya kini juga mulai mendapatkan perhatian dunia.
Atau juga Korea Selatan yang baru memulai liga profesionalnya pada 1983 dengan dimulai dua tim, sebelum akhirnya bergerak ke K-League pada era 90-an. Dalam waktu relatif singkat, mereka juga berhasil menjadi kiblat sepak bola Asia. Tak hanya timnas mereka yang berjaya, tapi juga pemain Korsel mulai menjejalah ke Eropa seperti halnya Jepang.
Indonesia? Dalam kurun waktu 77 tahun, hanya ada dua “prestasi” emas Indonesia yang patut dibanggakan. Pertama, pada 1938. Pada saat itu, dengan masih menggunakan nama Hindia Belanda, bangsa ini menjadi negara Asia yang tampil di Piala Dunia. Pada tahun tersebut terjadi pertandingan antara Hungaria dengan Dutch East Indies atau Hindia Belanda dengan hasil sebagai berikut 6-0 (4-0).
Momen emas kedua terjadi pada 1956, saat Indonesia menuju babak final Olimpiade di Melbourne, dengan membuat kejutan menahan kehebatan Rusia 0-0. Meski setelah itu, tim polesan Tony Poganik menyerah 0-4 dari Lev Yashin dkk di partai ulangan.
Namun, cerita emas itu sudah berakhir. Kini, dalam usia yang makin menua, prestasi sepak bola Indonesia bukannya makin berkembang menebarkan aroma harum, tapi justru ke arah “kematian”. Jika, dulu sepak bola Indonesia pernah menjadi raksasa Asia Tenggara, kini nyaris tak berdaya.
Semuanya boleh jadi karena disebabkan sepak bola Indonesia lebih banyak dijadikan alat birokrasi, politisasi untuk mengangkat popularitas semata. Akibatnya, semua regulasi dan keputusan yang diambil PSSI lebih bersifat politis.
Peraturan bisa ditekuk seperti lidah. Pengurus lebih banyak tebar wacana, dan menebar pesona dengan obral pengampunan agar bisa mendapat simpati. Lebih mengerikan, di PSSI tersinyalir ada perputaran “uang panas” yang hampir tak tersentuh.
“Uang panas” ini bisa berasal dari banyak sumber. Mulai dari promosi degradasi, fee pemain, bonus agen, perpanjangan izin tinggal, kerja, dan semua yang bisa menghasilkan uang. Dan, seperti kebanyakan kasus “uang panas”, sangat susah untuk dibuktikan.
Indonesia pun menjadi kesulitan mengalahkan Singapura, Vietnam, bahkan Myanmar yang sebenarnya jauh berada di bawah Indonesia. Karena itu, sangat aneh dalam prestasi terpuruk seperti ini, ketua umum PSSI sesumbar Indonesia akan ke pentas Piala Dunia 2019. Pertanyaannya, dari mana logika ini di bangun?
Harusnya, PSSI bicara dulu tentang target Asia Tenggara, setelah bisa jadi juara baru ngomong tentang Piala Asia, kalau di pentas akbar sepak bola benua kuning sudah sukses, targetlah Olimpiade, dan setelah baru berkoar tentang Piala Dunia.
Lebih bijak, PSSI membenahi kompetisi domestik. Bikinlah jadwal yang rasional, pas, dan tidak berubah-ubah. Buatlah regulasi agar pemain lokal bisa berkembang dengan cara membatasi jumlah pemain asing. PSSI juga harus membikin instrumen yang membuat pemain muda bisa berkembang, dan kemudian siap tampil di ajang professional.
Kalau persoalan elementer seperti ini tak bisa diselesaikan, tolong jangan bicara Piala Dunia, karena semua orang akan bilang, Apa Kata Dunia? (*)

Sunday, April 15, 2007

Rasisme, Cermin Retak Bangsa Ini

KASUS rasisme yang menimpa Alexander Pulalo saat bermain di Gelora Delta Sidoarjo dan Mandala Krida, sesuguhnya bukan barang baru di pentas sepak bola nasional. Sudah banyak pemain, bahkan pelatih yang pernah mendapat pelecehan karena persoalan warna kulit, bahasa atau bahkan mata yang sipit.
Sayang, kejadian seperti ini hampir tidak mendapat perhatian memadai dari PSSI, pemerintah atau mereka yang memang terlihat di dalam sepak bola. Masyarakat bangsa ini seperti takut mengungkap atau mengadukan pelecehan etnis, warna kulit, karena sudah terlalu lama termakan jargon SARA.
Menghilangkan sifat rasis sepertinya memang bukan pekerjaan mudah. Tak kurang diskusi digelar, bahkan undang-undang pun sudah disebarkan, tapi toh diskriminasi belum juga terhilangkan.
Salah satunya adalah adanya dikotomi adanya pribumi dan non-pribumi. Atau kalau mau ditarik dalam ruang yang lebih sempit dan kasat mata adalah persoalan diskrimanasi untuk orang Indonesia yang disebut China.
Orde baru telah sukses membuat “mereka” pantas dimusuhi. Bahkan, penyebutan istilah China yang dipopulerkan pemerintah Soeharto, sebagai pengganti sebutan Tionghoa di zaman orde lama juga dianggap sebagai bentuk diskriminasi.
Setidaknya, buat generasi pra-orba yang menilai panggilan China sebagai bentuk pelemahan, pendeskriditan, bahkan penghinaan. Dari persoalan ini terlihat betul bagaimana susahnya menghilang rasisme di benak masyrakat. Perbaruan masyarakak belum utuh. Inilah cermin retak bangsa ini yang entah sampai kapan bisa terekatkan.
Seperti dalam sepak bola. Persoalan diskriminasi dan rasisme belum juga terselesaikan. FIFA sebagai badan tertinggi sepak bola dunia tak kurang mengampanyekan program anti-rasis. Tapi, toh masih susah hilang. (rufsindo@plasa.com)

Melawan Nurdin Halid

KEINGINAN Nurdin Halid untuk kembali merengkuh posisi ketua umum PSSI dipastikan tak akan mulus. Meski, disinyalir telah melakukan kampanye dengan menebar pengampunan dan remisi, serta mengubah rencana musyawarah nasional (munas) menjadi munas luar biasa pada 18-22 April di Makassar, tak berarti langsung membuat dia memegang jabatan tertinggi di PSSI untuk kali kedua.
Penyebabnya, kini mulai muncul suara yang mengkritik kebijakan Nurdin selama menjadi ketua umum. Suara paling keras berasal dari M Jusuf Rizal, salah satu orang yang disebut akan maju dalam pemilihan ketua umum PSSI menegaskan semua itu.
Menurutnya, saat ini PSSI jalan ditempat akibat kepengurusan yang tidak mampu menjalankan roda organisasi dengan benar. Bahkan, sejumlah kelompok terus mempertahankan status quo yang ada di tubuh otoritas ini.
”Saya kira hal yang paling utama adalah reformasi serta transparansi di tubuh organisasi yang sudah cukup tua ini. Sebab, jika tanpa dua itu maka selamanya PSSI akan seperti ini terus,” tegas Jusuf kepada SINDO, kemarin.
Isu calon tunggal untuk ketua umum pada munaslub juga salah satu kemunduran besar. Sebab, ketika desakan musyawarah luar biasa (munaslub) mengemuka sekitar setahun silam, wacana tersebut bisa diharapkan sebagai agen perubahan di tubuh PSSI. Namun, kini justru suara keras tersebut melempem, bahkan tidak ada figur alternatif di luar Nurdin Halid yang dimunculkan.
”Dulu banyak yang bersuara keras agar dilakukan munaslub, tapi suara itu seperti masuk angin sekarang. Kondisi ini tentu sangat kontras terlebih jelang munas. Padahal, semua tahu seperti apa PSSI sekarang, baik secara prestasi maupun organisasi. Kalau menang daerah atau klub ingin perubahan, tentu ada figure lain yang bisa bekerja dan lebih maju,” cetus Jusuf.
Direktur Blora Center ini juga menyebutkan ada empat alasan seorang figur yang mampu membawa angin perubahan di tubuh PSSI. Pertama orang tersebut menurut Jusuf harus berani menentang money politic, lalu tidak apatis. Selain dua itu, figur tersebut juga haru berani melakukan potong satu generasi di kepengurusan PSSI serta mampu keluar dari tekanan pendukung status quo.
”Soal pencalonan, saya akan melihat kondisi terlebih dulu. Namun, mengenai berbagai pengampunan yang dilakukan Nurdin selama menjadi menjadi ketua umum, itu sangat tidak mendidik. Sebab, aturan seharusnya dijalankan secara tegas dan disiplin, sehingga semua berjalan bersih seperti slogan fair play,” tandas Jusuf.
Selain Jusuf, Ketua Pengda PSSI Jatim Haruno Sumitro juga melakukan perlawanan. Di dukungan 38 suara Pengcab, dan 18 suara klub di Jatim, Haruna berharap adanya perubahan pada organisasi dan visi misi PSSI pada munaslub yang rencananya akan dilakukan pada 18-22 April mendatang di Makassar.
“ Seluruh pengcab dan klub di Jatim menyuarakan agar saya ikut maju untuk mencalonkan sebagai ketua umum PSSI pada Munaslub nanti. Tapi untuk saat ini saya belum bisa memberi keputusan ya atau tidaknya, yang penting tunggu saja waktu yang tepat. Secara pribadi saya siap dan tidak untuk mengemban tugas itu,” ungkap Haruna kemarin.
Jatim memiliki total 58 suara sudah siap untuk menuntut perubahan pada Munaslub mendatang. Bahkan, pengprov PSSI daerah lain seperti Sumatra, DKI, Jawa, Sulawesi Utara dan Bali terlihat memberi dukungan kepada Haruna jika pada munaslub mendatang berani mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Tapi, Haruna secara pribadi masih belum bisa menentukan jawaban, kemungkinan keputusan itu akan dia umumkan pada Selasa (17/04) mendatang, atau satu hari menjelang Munaslab.
Dukungan terhadap Haruna untuk maju mencalonkan sebagai Ketua Umum PSSI pusat mendapat persetujuan dari Persebaya. Menurut Manajer, Lilik Suhartoyo bahwa tidak ada salahnya jika wakil dari Jatim bisa mencalonkan sebagai Ketua Umum PSSI pusat, sebab hingga saat ini belum ada sama sekali perwakilan dari Jatim yang duduk di jajaran pengurus PSSI.
“Persebaya sendiri setuju-setuju saja jika wakil Jatim ada yang mencalonkan sebagai Ketua Umum PSSI pada Munaslub nanti. Sebab, selama ini belum ada orang dari Jatim yang masuk dalam susunan pengurus PSSI pusat. Kami akan mendukung yang terbaik untuk sepakbola Indonesia,” kata Lilik. (SINDO)


AGENDA MUNASLUB
Pengesahan Pedoman Dasar
Pemilihan Ketua Umum
Penetapan Anggota Komite Eksekutif atau Exco

PESERTA MUNASLUB
33 Pengcab
36 Tim Divisi Utama
40 Tim Divisi I
63 Tim Divisi II
Total: 600 peserta

Nagabonar dan Kritik Sepak Bola Kita

SAYA sedang tidak bermaksud melakukan resensi film. Hanya saja, kebetulan saja ketika menyaksikan film Nagabonar Jadi 2, ada adegan yang membuat pikiran saya langsung mengingat sepak bola kita. Bukan dialog yang menggurui, bukan juga ceramah berapi-api dengan seribu janji.
Dialog itu dibangun, ketika anak Nagabonar, Bonaga berkongsi dengan rekan-rekannya bermaksud mendirikan perusahaan di kebun sawit milik Nagabonar di Medan. Rekan Bonaga memaparkan detail perusahaan, termasuk mess yang buat karyawan. Tanpa diduga, Nagabonar menayakan “di mana lapangan bolanya?”. Tentu saja, pengusaha yang dibesarkan di Amerika Serikat sana kaget. Lapangan bola? Tanya mereka.
Mendengar pertanyaan tersebut, Nagabonar yang mengaku dari Lubuk Pakam (kandang PSDS Deli Serdang), langsung meradang. “Kau tidak ingin bangsa kita menang main sepak bola, udah rubuhkan saja salah satu gedung, untuk bikin lapangan bola,” tukas Nagabonar.
Karena film ini memang tak berbicara sepak bola, maka dialog soal dunia rumput hijau terhenti. Tapi, tetap saja dialog tersebut saya ingat. Sebagai wartawan saya tergelitik untuk menerjemahkan pernyataan Nagabonar dengan realitas di lapangan.
Hasilnya? Bisa jadi ya. Tapi saya menerjemahkannya dalam konteks lebih luas. Artinya, saya ingin mengatakan bahwa jika ingin meraih hal-hal besar, jangan pernah melupakan persoalan kecil. Karena sekecil apapun masalah akan menjadi batu sandungan buat meraih hal besar.
Contohnya lapangan. Boleh jadi kita tak memiliki kendala soal lapangan, tapi persoalannya seberapa layak lapangan tersebut memenuhi standar internasional. Hampir 90% lapangan sepak bola di negeri ini tak memenuhi syarat. Mulai dari lapangan yang tidak rata, rumput mulai menguning, sehingga membuat pemain Indonesia kerepotan saat tampil di lapangan mulus.
Itu persoalaan lapangan. Belum persoalan kepemimpinan atau leadership di tingkat federasi. PSSI, Pengda, Pengcab dan klub seperti melupakan pentingnya pembinaan pemain muda. Ketua umum PSSI lebih suka menebar pesona dengan banyak mengeluarkan pengampunan.
Termasuk, pengampunan pada hal-hal sepele. Contoh nyata adalah kasus Persib Bandung yang mendapat sanksi laga tanpa penonton saat melawan PSMS beberapa waktu lalu. Dalam persoalan yang begitu sepele, ketua umum sampai perlu menggunakan hak prerogatifnya dengan mengundur sanksi tersebut.
Sekarang, pada saat semua negara di Asia bersiap di pentas Asia, PSSI dan ketua umum justru asik mengatur strategi untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan berbagai cara yang dianggap mendapat legitimasi. Padahal, selama kepemimpinan sekarang tak ada satu pun prestasi yang dipersembahkan. Yang ada justru blunder keputusan, dan kontroversinya. Pertanyaannya, apakah kita akan tetap memilih pengurus yang telah gagal?
Kalau saya, akan lebih suka memilih Nagabonar sebagai ketua umum PSSI. Tanpa banyak retrorika, tapi begitu peduli pada prestasi sepak bola kita. Hidup Nagabonar! (*)